Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pandangan Filsuf: Waktu dan Sejarah dalam Kehidupan Manusia

Pandangan Filsuf: Waktu dan Sejarah dalam Kehidupan Manusia

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan pada pertanyaan tentang waktu. Misalnya, kapan waktu mabar? jam berapa kita nongki dll. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan erat dengan konsep waktu. Ketika Anda terlambat menghadiri acara atau momen tertentu, Anda akan menerima kritik. Jadi apa sebenarnya yang dipermasalahkan? Waktu? Manusia sering salah paham tentang waktu. Manusia terjebak dalam waktu sebagai angka, padahal waktu adalah proses keberadaan, menjadi dan terus bergerak. Artinya setiap hal yang dilakukan selalu tertutup oleh waktu. Apapun aktivitas kita dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Waktu adalah hal utama yang membuat alam semesta bergerak, tidak terkecuali kita sebagai manusia.

Waktu

Bayangkan jika ada piring  makan yang jatuh ke lantai, lalu apa yang akan terjadi? Sebelumnya pasti ada sesuatu yang menyebabkan piring tersebut terjatuh dan pecah berkeping-keping. Piringnya bergeser dari meja ke lantai dan akhirnya pecah. Hal ini sejalan dengan pendapat Alfred North Whitehead1 bahwa alam semesta bukanlah fakta statis yang berada di dalam kehampaan yang tidak dinamis, melainkan sebuah struktur peristiwa yang terus mengalir secara kreatif. Artinya, alam semesta terus bergerak dan bukan produk. Jadi, alam semesta dalam ketidakterbatasannya adalah potensial. Seperti halnya piring yang semula utuh (aktual) memiliki potensinya, yaitu selain bentuk piring yang menjadi pecahan-pecahan, dan pecahan piring tersebut membentuk suatu realitas baru.

Seperti piring sebelumnya, perubahan dari piring menjadi pecahan bergantung pada waktu. Inti dari waktu dalam fisika modern adalah tidak ada kelanjutan waktu dalam kaitannya dengan materi. Proses pengembangan melibatkan proses yang berbeda secara kualitatif. Kualitas piring akan berubah menjadi piring pecah jika terjatuh sehingga kualitasnya berbeda. Waktu merangkul semua dalam bentuk masa lalu dan masa depan. 

Masa lalu adalah peristiwa yang memiliki kemungkinan tertutup, sedangkan masa depan adalah kemungkinan yang terbuka. Piring yang sudah pecah tidak akan bisa kembali menjadi piring utuh kecuali ada yang mengubahnya menjadi piring baru lagi (benda yang efisien). Piring yang sudah pecah itulah yang disebut kemungkinan tertutup (lampau) sekaligus terbuka terhadap hal lain selain piring (masa depan). Contoh kemungkinan terbuka adalah, misalnya, menyusun potongan-potongan menjadi satu piring. Inilah yang disebut potensi.

Coba bayangkan dalam dua jam ke depan sesuatu akan terjadi dan itu harus pasti. Bisakah kita memprediksi kepastian dalam dua jam ke depan? Tidak bisa. Katakan; dalam dua jam ke depan mantanku pasti akan datang ke Palu, pernyataan ini bukan hal yang pasti tapi hanya perkiraan. Tidak ada yang benar-benar yakin kedepannya.

Masa depan tidak bisa dihitung tapi hanya bisa dipersiapkan menurut Jacques Derrida.2 Ini adalah konsekuensi logis dari segalah kemungkinan terbuka dan alam semesta yang dinamis. Semuanya bergerak, tidak ada yang diam. Bahkan jika Anda tertidur, tanpa gerakan sedikit pun, jantung Anda akan terus memompa darah agar tetap hidup. Jadi waktu adalah proses keberadaan, semua perjalanan ke masa depan membutuhkan ketidakpastian (Absurd) dan misteri.

Santo Agustinus membagi waktu menjadi dua, waktu obyektif dan waktu subyektif. Waktu obyektif adalah waktu yang berdiri sendiri di luar manusia atau subjek, waktu subjektif adalah waktu menurut nalar. Immanuel Kant mengkritik waktu objektif, waktu pada manusia bukan di luar dan terlepas dari manusia. Contoh; Saat Anda bersama kekasih, waktu akan terasa sangat cepat. Namun segalanya menjadi terbalik saat Anda duduk di atas kompor panas sebentar disitu anda melihat Waktu terasa sangat lama. Ini disebut waktu subjektif. 

Pernyataan tersebut kemudian dikembangkan oleh Albert Einstein. Ruang selalu terikat oleh waktu, dan waktu selalu terikat oleh kesadaran manusia. Manusia akan terus eksis di ketiganya (ruang, waktu, dan kesadaran) dalam satu kesatuan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu saling berinteraksi dan berinteraksi. Dalam interaksinya, manusia menemukan makna dalam hidup mereka, berada satu sama lain, yang oleh Martin Heidegger disebut Mitdasein. Bagi Heidegger, waktu adalah cakrawala manusia, dia terlempar ke dunia (Dasein)3. Manusia bertatap muka dengan keberadaannya sekaligus menyadari. Apa yang diserap oleh indera adalah nyata dan ada.

Dalam proses menjadi manusia, dengan konsep waktu yang dinamis akan menghasilkan benturan-benturan eksistensial dalam ruang dan waktu di dunia. Ambil saja keadaan saat Anda sedang menuju ke pantai Pusat Laut Donggala untuk berlibur dan kemudian mendapatkan kabar buruk bahwa teman Anda di kontrakan tersebut sakit. Seketika Anda menyerah untuk pergi ke pantai dan akhirnya membuat kenangan sekaligus sejarah dalam hidup Anda mengenai kondisi teman Anda saat itu dan di masa lalu. Dengan demikian, ketidakpastian (Absurditas) merupakan hal yang pasti dalam keberadaan manusia.

Sejarah

Sejarah adalah hasil dari tabrakan eksistensial. Di sisi lain, keluasan pemahaman dan kritik menjadi bahan bakar sejarah untuk terus bergerak. Jadi, apakah sejarah terdiri dari tiga konsep waktu yang sejajar? Tiga konsep waktu di sini adalah masa lalu, sekarang, dan masa depan.

Sejarah ditandai dengan peristiwa penting yang menandai sesuatu. Peristiwa dalam sejarah tetap terikat dalam ruang dan waktu. Sejarah memiliki rasionalitas dan kesadarannya sendiri, katakanlah, pada Abad Pertengahan, rasionalitas dan kesadaran bersifat teologis dan modern dengan kehadiran rasionalisme dan empirisme. Melalui uraian tersebut dapat dilihat bahwa setiap era memiliki cara pandangnya sendiri terhadap dunia.

Dalam tiga konsep waktu, semua berdiri dalam satu kesatuan saat ini. Masa lalu menyebut masa kini sebagai masa depan. Masa depan menyebut masa kini sebagai masa lalu. Jadi kami berdiri dalam konsep masa depan dan masa lalu dengan keberadaan saat ini. Masa lalu adalah masa kini yang telah dijalani dan yang telah berpindah, sedangkan masa depan adalah jalan yang harus diikuti. Seperti pada contoh pecahan piring, pecahan adalah masa depan untuk piring, dan piring adalah masa lalu untuk pecahan. Ini berlaku untuk semua dan tidak terbatas pada sebuah piring.

Manusia selalu dihadapkan pada masa depan. Padahal masa depan itu "hanya dan "seandainya", itu misteri. Jika itu bukan misteri dan tetap seperti itu, itu akan dinamai hari ini dan akan ada di masa lalu. Jadi, apakah kita akan pasrah dan pesimis dengan kehidupan? Takut akan kejadian tragis di masa depan? Bukankah karena misterinya sendiri kehidupan sangat menarik untuk dijalani? Jika kita pasrah dan pesimis tentang masa depan, sama halnya dengan membawa pikiran kita ke tiang gantungan.