Coretan Singkat Tentang Manusia
Manusia selalu memiliki kecenderungan terhadap segala sesuatu yang menarik bagi mereka. Kecenderungan ini seperti kuda hitam yang menuntun orang untuk menikmati kesenangan yang terus menerus, dan tanpa akhir. Namun, di sisi lain di saat yang sama, ada seekor kuda putih yang berusaha mengontrol jarak atau malah menjauhi arah lari kuda hitam tersebut. Kuda putih ini kemudian dianggap sebagai hati nurani.
Kasus kehidupan manusia itu kompleks. Tidak pernah lepas dari sesuatu yang sulit, absurd, dan tidak bisa dipungkiri, sekaligus pelik. Ini adalah kasus yang membuat manusia dalam keadaan pasif seperti batu, menerima segala sesuatu yang terjadi padanya. Atau sebaliknya, aktif secara terbuka dalam membedakan manusia dari hewan lain. Apakah bukan karena alasan inilah manusia dianggap sebagai hewan yang berpikir, kata Aristoteles? Tapi kemudian masalahnya meningkat menjadi gambar abu-abu. Abu-abu yang berdiri di antara kebutuhan, keinginan, dan penolakan.
Ada kebutuhan yang tidak pernah bisa disangkal. Kebutuhan makan, tidur, hingga kebutuhan seksual dalam hidup. Tetapi apakah kebutuhan itu adalah hal utama dalam hidup? Memang benar makan tidur dan seksualitas adalah suatu kebutuhan, tapi bukan itu masalahnya. Apakah kita akhirnya menjadi manusia yang hidup untuk makan? Hidup untuk tidur? Atau hidup untuk seks? Semuanya bisa dicapai dengan mudah. Tetapi bukankah sesuatu yang mudah selalu tidak memberi Anda apa-apa? Itu adalah kebutuhan hidup yang harus dicari, bahkan jika seseorang perlu ditahbiskan.
Untuk memenuhi kebutuhan sangatlah penting. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pencarian suatu kebutuhan terlalu sulit bahkan dengan menjalaninya. Tidak jarang, manusia menghabiskan hidupnya untuk mencari apa yang sebenarnya mereka butuhkan? Apakah itu penting? Apa yang harus ada dalam hidup, tetap seberapa ulet kita mengejarnya. Atau bukan apa-apa? Yang sebenarnya bukan "benda". Di sisi lain, saya tidak tahu. Bisa jadi kita sering berseru kepada Tuhan yang merupakan lambang sesuatu yang berada di luar.
Lalu harapan. Apakah ini berarti orang yang hidup menginginkan sesuatu? yah itu benar. Hanya mereka yang munafik yang berkata bahwa mereka tidak menginginkan apapun. Bagaimana manusia bisa diciptakan tanpa konsep yang menggerakkan mereka untuk sekadar bangun, berjalan, makan, hingga sesuatu yang serumit belajar? Jika Anda tidak mengatakan "Saya tidak memiliki keinginan", itu sebenarnya anti-tesis dari keinginan anda sendiri. Bukankah itu keinginan untuk tidak menginginkan sesuatu itu sendiri? Memang disitulah letak kelemahan bahasa. Selalu terbatas dan terkadang blunder.
Apakah keinginan inilah yang kemudian mengontrol jalan hidup manusia selain kebutuhan? Hal semacam ini terjadi pada setiap jiwa. Faktanya, terkadang orang tidak bisa membedakan antara apa yang dibutuhkan dan apa yang diinginkan. Seolah keduanya bias. Dalam kondisi ini, manusia ibarat benda yang berdiri di depan dua cermin yang berlawanan. Satu cermin yang umum digunakan untuk berdandan dan cermin lain yang digunakan untuk jendela. Kedua cermin tersebut secara bersamaan merefleksikan gambar satu sama lain hingga gambar itu sendiri tidak terbatas. Cermin yang akan dipantulkan tadi merupakan simbol keinginan.
Sesuatu yang digunakan hanya untuk menciptakan atau menginginkan dirinya sendiri. Saat dia cantik di cermin, keinginannya terpenuhi. Namun, akan ada wanita cantik lainnya yang selalu ingin dikejar, atau dalam arti lain selalu merasa buruk dan kurang jika bibir kamu masih pucat maka kamu butuh lipstik, rambut kamu kusut jadi mau langsung keramas, itu saja. Dan satu lagi adalah kaca jendela yang membuat kita waspada dalam bersolek. Seringkali kita menggunakan kaca untuk refleksi, namun seringkali kita merasa takut jika seseorang di belakang jendela melihatnya atau menertawakannya. Kemudian dari situ akan muncul kesadaran, jadi cukup dengan merenungkannya saja. Itulah yang dilambangkan oleh keinginan dan kebutuhan.
Agak sulit untuk menjelaskan konsep yang sebenarnya karena argumen lain akan muncul yang mungkin jauh lebih tajam daripada yang sekarang. Dan di sinilah tepatnya Heraclitos mengklaim bahwa segalanya berubah. Tidak ada yang sama. Bahkan di sungai kita tidak pernah pergi ke sungai yang sama karena air dari sungai itu selalu berubah. Namun setiap perubahan bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, karena akan selalu ada dukungan. Dan dalam konsep inilah logos dapat mendukung perubahan agar tidak menjadi sesuatu yang asing.
Berkenaan dengan penolakan, di mana kita manusia, selalu diinginkan atau dibutuhkan, tetapi memberikan sikap skeptis, keraguan, lalu memilih untuk menolak apa yang benar-benar kita inginkan atau membutuhkan ini? Berkenaan dengan penolakan ini, ini umumnya terjadi dalam kondisi tertentu yang berkaitan dengan perubahan atau sebenarnya terkait dengan konsep yang jauh lebih abstrak, Mungkin biasa kita sebut sebagai harga diri (pride).
Penolakan terkadang menjadi wujud bahwa diri kita jauh memiliki harga yang lebih ketimbang apa yang akan kita dapatkan tersebut. Konsep-konsep ini tak terjadi kepada materi saja. Tetapi kadang-kadang sesuatu yang lebih rumit dan bersifat esensial, kita masih berusaha untuk menolaknya. Seperti tentang "ada". Bahwasanya "ada" ini adalah sesuatu yang menyangkut perihal immateri dan bukan materi. Antara nampak dan tak bisa dilihat, dan secara teknis akan kembali kepada keberadaan itu sendiri.
Semuanya menjadi masuk akal ketika manusia memberi tanda pada sesuatu "ada" dan "tidak ada" sebagai tanda pengenal agar tak salah kaprah terhadap kedua konsep tersebut. Dari sini, bukankah sesungguhnya manusia sudah melakukan suatu penolakan terhadap konsep "ada" dan "tiada" tersebut? Manusia menolak untuk tidak mengerti, maka yang dia katakan dan memberinya tanda bahwa umat manusia telah menaklukkannya. Dan seterusnya, sampai tidak ada yang bisa terungkap tentang kehidupan itu sendiri. Dan manusia terus mencari. Terus menolak ketidakmengertian.
Namun dari sini kita harus kembali bertanya. Apakah penolakan dengan cara memberikan tanda tadi adalah bukti dari penakhlukan? Jika ya, apakah pemberian tanda-tanda kepada yang "Maha" tadi dengan simbol-simbol seperti Tuhan, Allah, Yahweh, Yesus, atau apapun yang manusia berikan simbol kepadanya, adalah lambang penakhlukan atas ketidaktahuannya terhadap seusatu yang nothing namun sebenarnya beyond? Bukankah pemberian tadi juga bersifat arbitrer? Mengapa sewenang-wenang, berdasarkan hipotesis dan juga merupakan representasi dari hasrat manusia itu sendiri? Atau benar bahwa semuanya adalah anti-tesis yang seberarnya sederhana? Yakni manusia menolak malu terhadap ketidakmengertian.