Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Analisis Hubungan Agama dan Sosiologi

Analisis Hubungan Agama dan Sosiologi

Pelajaran agama tidak akan pernah lengkap jika tidak memasukkan masalah sosial di dalamnya. Agama dipahami dan dibentuk oleh masyarakat sebagai keyakinan yang dianut oleh setiap individu, meskipun beberapa kalangan menafikan atau menyangkalnya. Dalam sistem kepercayaan terdapat hal-hal yang diyakini dan meyakini subjek, sehingga artinya konsep agama atau kajian agama tidak lepas dari berbagai aspek yang juga terkandung dalam sosiologi.

Hubungan dan sinergi antara agama dan sosiologi terlihat sangat jelas dalam praktek langsung di masyarakat. Berbagai masalah terkait keragaman keyakinan dapat terjadi di wilayah yang sama. Jadi, tidak menutup kemungkinan adanya fanatisme terhadap kepercayaan tertentu. Hal-hal tersebut dikategorikan ke dalam masalah sosial yang menyangkut keyakinan agama.

Namun, beberapa kalangan yang telah "mantap" dalam perilaku religius dapat menghindarinya. Tindakan ini dilakukan karena konsep keberagaman dipahami dan membentuk sikap toleran yaitu 'suka atau tidak', sebagai individu haruslah merasa wajar bahwa dalam ranah sosial di mana setiap komunitas memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lain.

Bahkan tidak hanya berbeda agama, sesama pemeluk agama yang sama dapat dipahami dengan cara yang berbeda dan menimbulkan perbedaan yang beragam. Ini karena setiap latar belakang sosial berperan dalam membentuk cara berpikir dan bertindak secara individu. Dengan demikian, dalam suatu kelompok agama yang "mantap" akan menormalkan perbedaan tersebut dalam garis normal atau harus diterima karena berbagai alasan.

Kelompok agama yang "mantap" merupakan salah satu hasil bentukan masyarakat, sekaligus upaya individu untuk membentuk diri sebagai kelompok minoritas dalam masyarakat dengan visi membentuk ruang lingkup wilayahnya. Dalam arti lain, masyarakat berpartisipasi dalam pembentukan individu dan individu juga berpartisipasi dalam membentuk diri mereka sendiri melalui pikiran dan tindakannya. Hal ini sejalan dengan teori sosial yang dikemukakan oleh Max Weber1 dan Emile Durkheim2, yaitu tentang aksi sosial dan solidaritas sosial.

Menurut Weber, orang beragama yang “mapan” dibentuk dari kesadaran intelektual dan pengalamannya dalam merantau sehingga memiliki konsep berfikir bebas tanpa terpengaruh lingkungan bahkan cenderung mempengaruhi pikiran masyarakat. Untuk alasan ini, penganut agama "mantap" dalam konsep sosial Weber menampilkan manusia sebagai satu makhluk sosial yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi orang lain dengan kecerdasan dan pengalamannya. Dalam arti lain dapat dipahami, bahwa umat beragama yang "mantap" memiliki kesadaran yang tinggi terhadap agama dan keberadaannya serta esensinya bagi manusia melalui penalaran kritis. Dengan demikian, tidak ada sedikitpun faktor eksternal yang mempengaruhinya.

Secara tidak langsung, konsep sosiologis Weber berkontribusi bahwa individu memiliki peran penting dalam masyarakat sebagai makhluk dengan pengalaman dan intelektual dalam agama. Individu memiliki kebebasan untuk menentukan alur permainan melalui penalaran kritis yang kemudian membentuk tindakan yang dapat mempengaruhi lingkungannya. Masyarakat dalam pengertian ini adalah objek individu sebagai agama yang "mantap". Ia bisa memilah sikap apa yang pantas dan pantas untuk diterapkan dan disuntikkan ke masyarakat. Jika tidak demikian, maka tidak ada masyarakat yang "mantap" dalam beragama karena belum adanya kesadaran yang tinggi dalam membentuk cara pandang lingkungan atas perbedaan keyakinan.

Agama yang "mantap" adalah hasil dari konsep berfikir manusia sebagai makhluk cerdas yang mampu berpikir kritis dan eksis dalam masyarakat sebagai kontributor aktif dengan pengaruh yang besar. Dengan demikian, masyarakat merupakan hasil bentukan dari aksi sosial serta "mantap" ulama merupakan bentukan kesadaran yang tinggi sebagai makhluk yang berpikir dan dapat mempengaruhi orang lain termasuk membentuk masyarakat.

Berbeda dengan sosiologi Weber, Durkheim berpendapat sebaliknya. Individu atau agama yang telah "mantap" adalah hasil dari formasi budaya masyarakat. Tanpa masyarakat, individu tidak bisa menjadi seorang agamawan yang "mantap". Tidak hanya itu, individu bahkan bisa menjadi masalah di masyarakat. Jadi suka atau tidak suka, masyarakat adalah penyusun utama individu-individu yang "mantap" dalam beragama.

Pemikiran tersebut didukung oleh beberapa realitas yang dapat diamati saat ini, ketika seorang individu hadir dalam suatu kajian agama, maka secara tidak langsung ia akan berbaur dan "mantap" dengan komunitas yang ada di dalamnya. Jika dia merasa tidak nyaman atau merasa tidak cocok, atau sebaliknya jika individu yang masuk dalam komunitas pengajian berbeda dengan karakter komunitasnya, maka akan menjadi masalah.

Dalam hal ini, Durkheim secara tidak langsung menyoroti ulama yang tinggal di pesantren. Solidaritas sosial sangat jelas tercermin dalam dunia pesantren, dimana individu secara tidak langsung harus beradaptasi dengan lingkungan pondok, hingga akhirnya berbaur dengan para senior dan menjadi santri yang senasib dengan sesamanya.

Konsep Durkheim dewasa sekarang dapat dilihat di berbagai tempat atau wilayah. Bagaimana individu dibentuk oleh lingkungan? Artinya lingkungan menjadi subjek yang membentuk individu sebagai objek. Dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut; individu yang baik adalah terciptanya lingkungan yang baik, begitu pula sebaliknya. Konsep ini secara logis dapat diterima dengan berbagai bias.

Perlu disadari bahwa dalam keberagaman, lingkungan merupakan aset penting dalam pembentukan individu. Jika lingkungan keagamaan cenderung moderat, maka individu yang terbentuk akan memiliki sikap yang moderat. Begitu pula jika lingkungan individu yang cenderung liberal, maka individu yang terbentuk secara tidak langsung akan mengalir bebas, begitu seterusnya. Oleh karena itu, dalam pemikiran Durkheim, lingkungan menjadi modal awal untuk mempertimbangkan kehidupan, padahal individu tersebut teguh religius, jika ia hidup di lingkungan yang berbeda akan menjadi masalah.